Malang
terletak di bagian selatan Surabaya, dan berjarak sekitar 80 Kilometer jauhnya.
Malang berada di daerah dataran tinggi yang sudah pasti memiliki hawa yang
sejuk. Selain itu, ternyata kekayaan etnis dan budaya yang dimilikinya
berpengaruh terhadap kesenian tradisional yang ada. Salah satu di antaranya
yang sangat terkenal adalah tari topeng malang / malangan (di luar daerah
Malang lebih terkenal dengan penyebutan tari topeng wayang panji). Gaya
kesenian ini merupakan wujud pertemuan dari tiga budaya, yakni budaya Jawa
Tengahan, budaya Madura, dan budaya Tengger.
Salah
satu Sanggar Wayang Topeng yang ada di Malang adalah sanggar asmoro bangun yang
berada di Dukuh Kedungmonggo, Kecamatan Pakisaji, Kabupaten Malang. Sanggar
Asmoro Bangun ini diampu oleh Tri Handoyo. Tri Handoyo merupakan keturunan
langsung (generasi kelima) dari Maestro Topeng Karimun (Mbah Mun) yang telah
meninggal pada tahun 2010. Menurut Tri, dalam perkembangannya, seni pertunjukan
berproperti topeng itu tidak seluruhnya melakonkan cerita Panji, namun juga
memainkan lakon dan cerita-cerita lainnya yang berasal dari wiracarita
Mahabarata dan Ramayana.
Tari
andalan dari Sanggar Asmoro Bangun, adalah Tari Topeng Malang. Tari ini
disajikan dengan diawali ritual memanjatkan doa untuk memohon kelancaran
jalannya pertunjukan. Setelah itu sambil diiringi lantunan gamelan, empat orang
penari keluar secara berurutan masuk ke panggung / arena pertunjukan. Gerakan
gagah tiga orang penari pria, begitu rampak berpadu dengan satu orang penari
putri, menyajikan pertunjukan yang menarik. Alunan musik gamelan laras pelog,
menambah nuansa tarian menjadi semakin indah. Para penari dan penabuh gamelan
seakan mengajak para penonton menuju sebuah masa di mana cerita di tari yang
disajikan ini berada.
Menjadi penjaga tradisi, penjaga budaya,
merupakan tugas yang sangat berat. Idealisme harus tetap selalu dijaga, di
antara banyaknya kebutuhan hidup yang selalu menuntut untuk dipenuhi. Menurut
Tri Handoyo, sekarang tidak banyak lagi orang yang cukup mampu melakukan hal
yang dilakukan oleh para tokoh kesenian pada zaman dulu kala, di mana uang
bukanlah tujuan utamanya. Tri Handoyo menceritakan, ketika para pendahulunya
berkesenian, tidak memikirkan untung atau rugi, bahkan modal pribadi pun tak
dipikir lagi untuk dikeluarkan saat menggelar pertunjukan dengan segala biaya
yang pasti muncul dan membuat kondisi keuangan merugi. Tetap lestarinya tradisi
dan budaya nenek moyang, merupakan tujuan utama yang ingin dicapai, dengan
harapan kelak, anak cucu dan generasi penerus, dapat menyaksikan dan mengerti,
bahwa sejak dahulu kala, bangsa dan negara ini telah memiliki akar tradisi dan
budaya yang kuat.
Pada sebuah film yang sempat sukses di pasaran,
menurut Dilan rindu itu berat. Mungkin bila para pegiat budaya seperti Tri
Handoyo dan para pegiat budaya lainnya bisa berujar selayak Dilan, mereka akan
berkata, “Bukan rindu yang berat, menjaga tradisi dan budaya itu lebih berat di
masa sekarang di mana laju zaman semakin cepat dengan hiruk pikuk modernitas,
maka marilah kita bersama-sama menjaga dan melestarikan tradisi serta budaya
luhur warisan para leluhur pendahulu kita, yang memiliki banyak nilai-nilai
adiluhung yang dapat diserap dan diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari,
untuk kemajuan bangsa dan negeri ini
0 Komentar