Tari Topeng Klana
Prawirosekti dewasa ini sangat memprihatinkan, karena terbatasnya narasumber
primer yang bisa menari, mengendang, dan mendalang Tari Topeng Klana tersebut,
serta terbatasnya narasumber yang berupa referensi. Sebab Itu Tari Topeng Klana
Prawirosekti perlu diteliti, karena ingin mengetahui bagaimana struktur
koreografis dan makna simbolis Tari Topeng Klana tersebut. Penelitian ini
bertujuan untuk memperoleh gambaran yang holistik tentang Struktur Koreografis
dan makna Simbolis Tari Topeng Klana Prawirosekti. Disamping itu juga
bermanfaat untuk memperkaya pemahaman tentang Struktur Koreografis dan makna
Simbolis Tari Topeng Klana Prawirosekti, sebagai upaya untuk menuju tersusunnya
bahan ajar tentang Struktur Koreografis dan makna Simbolis Tari Topeng Klana
Prawirosekti. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan paradigma penelitian
kualitatif, fenomenologis, yang berdasarkan fenomena – fenomena, dengan teknik
pengumpulan data melalui wawancara, pengamatan (observasi) dan dokumentasi
kepada sumber data, diantaranya penari, pengendang, dalang, dan sinden Tari
Topeng Klana Prawirosekti, serta pejabat kebudayaan setempat (Mantan Kasie
Kebudayaan Dikbud kota Malang). Hasil penelitian yang didapatkan dilapangan
sesuai dengan yang direncanakan. Tari Topeng Klana Prawirosekti mempunyai
beberapa ragam gerak, dan masing – masing ragam gerak. Tari Topeng Klana
Prawirosekti mayoritas menggunakan volume besar, yang menunjukkan karakter
gagah. Pola lantai yang digunaka, diantaranya kotak (segi empat), garis lurus,
zig – zag lurus segi empat, lingkaran, angka delapan, dan titik. Hal ini
menunjukkan keperkasaan (kekuatan), namun mempunyai rasa cinta kasih kepada
sesame dan selalu ingat kepada TuhanYang Maha Esa. Tari Topeng Klana
Prawirosekti banyak menggunakan Pola lantai lingkaran, karena Tari Topeng Klana
Prawirosekti pada dasarnya sakral (ritual). Tari Topeng Klana Prawirosekti
menggunakan desai dramatic kerucut berganda, bagaikan mendaki gunung, yang
menanjak dengan berliku – liku, dan akhirnya kembali ke dasar lagi. Ini
menunjukkan semangat yang menggebu – gebu (membara), namun akhirnya menyadari
batas kemampuannya. Busananya mayoritas berwarna merah, baerarti menunjukkan
keberanian. Topengnya berwarna hijau dinding (ijo tembok) yang menunjukkan
keagungan (luhur), kesetiaan, kesucian (satria), magis dan cinta kasih. Dari
uraian tersebut diatas, dapat disimpulkan bahwa Tari Topeng Klana Prawirosekti
perlu dilestarikan, karena mempunyai struktur koreografis dan makna simbolis
yang bisa memberikan kontribusi pendidikan yang berupa nilai – nilai moral dan
spiritual, diantaranya : nilai kepahlawanan (patriotisme), keberanian, cinta
kepada sesame dan selalu ingat kepada TuhanYang Maha Esa. Sehubungan hal
tersebuat diatas disarankan agar diadakan pendokumentasian tari tradisional
Jawa khas kota Malang yang berada di Sanggar Tribuana kota Malang.
Tari topeng Klana adalah gambaran seseorang yang bertabiat buruk, serakah,
penuh amarah dan tidak bisa mengendalikan hawa nafsu, namun tarinya justru
paling banyak disenangi oleh penonton. Sebagian dari gerak tarinya
menggambarkan seseorang yang tengah marah, mabuk, gandrung, tertawa
terbahak-bahak, dan sebagainya. Lagu pengiringnya adalah Gonjing yang
dilanjutkan dengan Sarung Ilang. Struktur tarinya seperti halnya topeng
lainnya, terdiri atas bagian baksarai (tari yang belum memakai kedok) dan
bagian ngedok (tari yang memakai kedok).
Beberapa dalang topeng, misalnya Rasinah dan Menor (Carni), membagi tarian
ini menjadi dua bagian. Bagian pertama, adalah tari topeng Klana yang diiringi
dengan lagu Gonjing dan sarung Ilang. Bagian kedua, adalah Klana Udeng yang
diiringi lagu Dermayonan.
Tari topeng Klana sering pula disebut topeng Rowana. Sebutan itu mengacu
pada salah satu tokoh yang ada dalam cerita Ramayana, yakni tokoh Rahwana.
Secara kebetulan, karakternya sama persis dengan tokoh Klana dalam cerita
Panji. Di Cirebon, topeng Klana dan Rowana kadang-kadang diartikan sebagai
tarian yang sama, namun bagi beberapa dalang topeng, misalnya Sujana dan Keni
dari Slangit; Sutini dari Kalianyar dan Tumus dari Kreo; membedakan kedua
tarian tersebut, hanya kedoknya saja yang sama. Jika kedok Klana yang ditarikan
itu memakai kostum irah-irahan atau makuta Rahwana di bagian kepalanya dan di
bagian punggungnya memakai badong atau praba, maka itulah yang disebut topeng
Rowana. Kostumnya jauh berbeda dengan topeng Klana dan kelihatan sangat mirip
dengan kostum tokoh Rahwana dalam wayang wong.
Dalam pertunjukan topeng hajatan, yakni setelah tari topeng tersebut
selesai, penari biasanya melakukan nyarayuda atau ngarayuda, yakni meminta uang
kepada para penonton, tamu undangan, pemangku dan panitia hajat, para pedagang,
dan lain-lain. Ia berkeliling seraya mengasong-asongkan kedok yang dipegang
terbalik–bagian dalamnya terbuka dan bagian wajahnya menghadap ke bawah–dan
kedok berubah fungsi menjadi wadah uang. Mereka memberikan uang seikhlasnya
tanpa merasa ada suatu paksaan. Setelah merasa cukup, penari kembali ke panggung
dan sebagai rasa terima kasih, ia kembali mempersembahkan beberapa gerakan tari
topeng Klana, sebagai tarian ekstra.
Nyarayuda atau ngarayuda adalah sebuah pesan moral atau simbol yang
mengingatkan kita tentang bagaimana sebaiknya berkehidupan di masyarakat. Klana
adalah seorang raja yang kaya raya, yang tak kurang suatu apapun, namun ia
masih merasa kekurangan, merasa segalanya belum cukup, sehingga ia tetap
berusaha untuk mengambil sebanyak-banyaknya harta tanpa memperdulikan apakah
itu hak atau batil. Itulah sebenarnya pesan yang ingin disampaikan nyarayuda,
yang artinya bukan semata-mata mengemis. Hidup, sebaiknya lebih banyak memberi
daripada lebih banyak meminta. Itulah pesan yang ingin disampaikan.
0 Komentar