Konteks budaya Topeng Cirebon tentu tidak dapat dikembalikan pada budaya Cirebon sendiri yang sekarang. Untuk itu diperlukan penelusuran historis terhadapnya.
·
SIAPAKAH EMPU PENCIPTA
TARIAN INI?
Sampai
kiamat pun kita tak akan mengetahuinya, lantaran masyarakat Indonesia lama tidak
akrab dengan budaya tulis. Meskipun budaya tulis dikenal di Keraton-keraton
Indonesia, tetapi tidak terdapat kebiasaan mencatat pencipta-pencipta
kesenian, kecuali dalam beberapa karya sastranya saja.
·
DI ZAMAN MANA?
Kalau pencipta tidak dikenal, sekurang-kurangnya di zaman
mana Topeng Cirebon ini telah ada? Kepastian tentang ini tidak ada. Namun
ada dugaan bahwa di zaman Raja Majapahit, Hayam Wuruk, tarian ini sudah dikenal.
Dalam Negara kertagama dan Pararaton dikisahkan raja ini menaritopeng (kedok)
yang terbuat dari emas. Hayam Wuruk menarikan topeng emas(atapel, anapuk) di
lingkungan kaum perempuan istana Majapahit. Jadi Tari topeng Cirebon ini semula
hanya ditarikan para raja dengan penonton perempuan (istri-istri raja,
adik-adik perempuan raja, ipar-ipar perempuan raja,ibu mertua raja, ibunda
raja).
Dengan demikian dapat diduga bahwa Topeng Cirebon ini sudah populer
di zaman Majapahit antara tahun 1300 sampai 1400 tarikh Masehi.Mencari dasar
filosofi tarian ini harus dikembalikan pada sistem kepercayaan Hindu-Budha-Jawa
zaman Majapahit. Tetapi mengapa sampai di Keraton Cirebon? Setelah jatuhnya
kerajaan Majapahit (1525), tarian ini rupanya dihidupkan oleh Sultan-sultan
Demak yang mungkin mengagumi tarian ini atau memang dibutuhkan dalam kerangka
konsep kekuasaan yang tetap spiritual. Dalam babad dikisahkan bahwa Raden Patah
menari Klana di kaki Gunung Lawu di hadapan Raja Majapahit, Brawijaya. Ini
justru membuktikan bahwa Topeng Cirebon erat hubungannya dengan konsep
kekuasaan Jawa.Bahwa hanya Raja yang berkuasa dapat menarikan topeng ini,
ditunjukkan oleh babad, yang berarti kekuasaan atas Jawa telah beralih kepada
RadenPatah, dan Raja Majapahit hanya sebagai penonton.
Dari Demak tarian ini terbawa bersama penyebaran pengaruh
politik Demak. Demak yang pesisir ini memperluas pengaruh kekuasaan
dan Islami sasinya di seluruh daerah pesisir Jawa, yang ke arah barat sampai
diKeraton Cirebon dan Keraton Banten. Inilah sebabnya berita-berita
Belanda menyebutkan keberadaan tarian in di Istana Banten. Banten dan
Cirebon,sedikit banyak membawa kebudayaan Jawa-Demak, terbukti dari
penggunaan bahasa Jawa lamanya. Sedangkan Demak sendiri dilanjutkan oleh
Pajang yang berada di pedalaman, kemudian digantikan oleh Mataram yang
juga di pedalaman.
Topeng Majapahit ini, dengan demikian, hanya hidup di daerah
pesisir Jawa Barat, sedangkan di Jawa pedalaman topeng tidak hidup kecuali
bentuk dramatik lakon Panjinya. Kalau topeng tetap hidup dalam fungsi
ritualnya,tentunya juga berkembang di kerajaan-kerajaan Islam Jawa
pedalaman.Rupanya topeng dipelihara di Jawa Barat karena pesona seninya.
Topeng sangat puitik dan kurang mengacu pada mitologi Panji yang
hindu istik.Topeng lebih dilihat sebagai simbol yang mengacu pada realitas
transenden. Inilah sebabnya sultan-sultan di Jawa Barat yang kuat Islamnya
masih memelihara kesenian ini.
Topeng Cirebon adalah simbol penciptaan semesta yang berdasarkan sistem
kepercayaan Indonesia purba dan Hindu-Budha-Majapahit. Paham kepercayaan asli,
di mana pun di Indonesia, dalam hal penciptaan, adalah emanasi. Paham emanasi
ini diperkaya dengan kepercayaan Hindu dan Budha.Paham emanasi tidak membedakan
Pencipta dan ciptaan, karena ciptaan adalah bagian atau pancaran dari Sang Hyang
Tunggal.
·
SIAPAKAH
SANG HYANG TUNGGAL ITU?
Dia adalah ketidak-berbedaan. Dalam diri Nya adalah ketunggalan mutlak.
Sedangkan semesta ini adalah keberbedaan. Semesta itu suatu aneka,keberagaman.
Dan keanekan itu terdiri dari pasangan sifat-sifat yang saling bertentangan
tetapi saling melengkapi. Pemahaman ini umum di seluruh Indonesia purba, bahkan
di Asia Tenggara dan Pasifik. Dan filsuf-filsuf Yunani pra-Sokrates,
filsuf-filsuf alam, juga mengenal pemahaman ini. Boleh dikatakan, pandangan
bahwa segala sesuatu ini terdiri dari pasangan kembar yang saling
bertentangan tetapi merupakan pasangan, adalah universal manusia purba.
Sang Hyang Tunggal Indonesia purba ini mengandung semua sifat ciptaan.
Karena semua sifat yang dikenal manusia itu saling bertentangan,maka dalam diri
Sang Hyang Tunggal semua pasangan oposisi kembar tadi hadir dalam keseimbangan
yang sempurna. Sifat-sifat positif melebur jadi satu dengan sifat-sifat negatif.
Akibatnya semua sifat-sifat yang dikenal manusia berada secara seimbang
dalam diriNya sehingga Sifat itu tidak dikenal manusia alias Kosong mutlak.
Paradoks nya justru Kosong itu Kepenuhan sejati karena Dia mengandung semua sifat
yang ada. Kosong itu Penuh, Penuhitu Kosong, itulah Sang Hyang Tunggal itu. Di
dalam Nya tiak ada perbedaan, tunggal mutlak. Di Cina purba, Sang Hyang
Tunggal ini disebut Tao.
Topeng Cirebon menyimbolkan bagaimana asal mula Sang Hyang Tunggal ini
memecahkan diriNya dalam pasangan-pasangan kembar saling bertentangan itu,
seperti terang dan gelap, lelaki dan perempuan, daratan danlaut. Dalam tarian
ini digambarkan lewat tari Panji, yakni tarian yang pertama.Tarian Panji ini
merupakan masterpiece rangkaian lima tarian topeng Cirebon.Tarian Panji justru
merupakan klimaks pertunjukan. Itulah peristiwa transformasi Sang Hyang Tunggal
menjadi semesta. Dari yang tunggal belah menjadi yang aneka dalam
pasangan-pasangan.
Inilah sebabnya kedok Panji tak dapat kita kenali secara pasti apakah itu
perwujudan lelaki atau perempuan. Apakah gerak-geriknya lelaki
atau perempuan. Kedoknya sama sekali putih bersih tanpa hiasan, itulah
Kosong.Gerak-gerak tariannya amat minim, namun iringan gamelannya
gemuruh.Itulah wujud paradoks antara gerak dan diam. Tarian Panji sepenuhnya
sebuah paradoks. Inilah kegeniusan para empu purba itu, bagaimana menghadirkan Hyang
Tunggal dalam transformasinya menjadi aneka, dari ketidak berbedaan menjadi
perbedaan-perbedaan. Itulah puncak topeng Cirebon, yang lain hanyalah terjemahan
dari proses pembedaan itu.
Empat tarian sisanya adalah perwujudan emanasi dari Hyang Tunggal tadi.
Sang Hyang Tunggal membagi diriNya ke dalam dua pasangan yangsaling
bertentangan, yakni “Pamindo-Rumyang”, dan “Patih-Klana”. Inilah sebabnya kedok
“Pamindo-Rumyang” berwarna cerah, sedangkan “Patih-Klana” berwarna gelap (merah
tua).
Gerak tari “Pamindo-Rumyang” halus keperempuan-perempuanan,sedangkan
Patih-Klana gagah kelaki-lakian. Pamindo-Rumyang menggambarkan pihak “dalam”
(istri dan adik ipar Panji) dan Patih-Klana menggambarkan pihak “luar”. Terang
dapat berarti siang, gelap dapat berarti malam. Matahari dan bulan. Tetapi harus
diingat bahwa semuanya itu adalah Panji sendiri, yang membelah dirinya menjadi
dua pasangan saling bertentangan sifat-sifatnya. Inilah sebabnya keempat
tarian setelah Panji mengandung unsur-unsur tarian Panji. Untuk hal ini orang-orang
tari tentu lebih fasih menjelaskannya.
Topeng Panji menyimbolkan peristiwa besar universal, yakni terciptanya
alam semesta beserta manusia ini pada awal mulanya. Topeng Panjing atau topeng
Cirebon ini mengulangi peristiwa primordial umat manusia, bagaimana “penciptaan”
terjadi. Tidak mengherankan kalau dizaman dahulu hanya ditarikan oleh para
raja. Raja mewakili kehadiran Sang Hyang Tunggal itu sendiri, karena dalam paham
kekuasaan Jawa, Raja adalah Dewa itu sendiri, yang dikenal dengan paham
dewa-Raja.
Topeng Cirebon adalah gambaran sangat puitik tentang hadirnya alam semesta
serta umat manusia. Sang Hyang Tunggal yang merupakan ketunggalan mutlak tanpa
pembedaan, berubah menjadi keanekaan relatif yang sangat berbeda-beda
sifatnya. Tari Panji adalah tarian Sang Hyang Tunggal itu sendiri, dan
tarian-tarian lainnya yang empat adalah perwujudan dari emanasi diriNya menjadi
pasangan-pasangan sifat yang saling bertentangan.
Topeng Cirebon adalah tarian ritual yang amat sakral. Tarian ini
samasekali bukan tontonan hiburan. Itulah sebabnya dalam kitab-kitab
lama disebutkan, bahwa raja menarikan Panji dalam ruang terbatas yang
disaksikan saudara-saudara perempuannya. Untuk menarikan topeng ini diperlukan
laku puasa, pantang, semedi, yang sampai sekarang ini masih dipatuhi oleh
paradalang topeng di daerah Cirebon.
Tarian juga harus didahului oleh persediaan sajian. Dan sajian
itu bukan persembahan makanan untuk Sang Hyang Tunggal. Sajian
adalah lambang-lambang dualisme dan pengesaan. Inilah sebabnya dalam
sajian sering dijumpai bedak, sisir, cermin yang merupakan lambang
perempuan,didampingi oleh cerutu atau rokok sebagai lambang lelaki. Bubur
merah lambang dunia manusia, bubur putih lambang Dunia Atas. Cowek batu
yang kasar sebagai lambang lelaki, dan uleg dari kayu yang halus sebagai
lambang perempuan. Pisang lambang lelaki, buah jambu lambang perempuan.
Air kopi lambang Dunia Bawah, air putih lambang Dunia Atas, air teh lambang
Dunia Tengah. Sesajian adalah lambang keanekaan yang ditunggalkan.
0 Komentar