Menurut
Babad Tanah Losari diceritakan bahwa Pangeran Angkawijaya pergi ke
Losari dari kesultanan Cirebon menepi
dari kehidupan Keraton karena tidak ingin terkungkung dengan sistem kehidupan
kesultanan yang serba gemerlap. Selain itu, menepinya Pangeran Angkawijaya dari
kesultanan Cirebon karena
adanya konflik Internal soal perjodohan antara dirinya dengan kakaknya yakni
Panembahan Ratu.[7]
Saat
itu Panembahan Ratu yang termasuk kakak Angkawijaya hendak menikahi putri dari
Raja Pajang yakni Nyai Mas Gamblok, sebenarnya putri Gamblok lebih menyukai
Pangeran Angkawijaya, tetapi karena urutan usia, Panembahan Ratu yang lebih tua
menyatakan berhak mengawini Nyai Mas gamblok, menghindari hal yang tidak
dinginkan terjadi, Pangeran Pangeran Angkawijaya lalu pergi ke arah timur dari
tanah Cirebon hingga menetap di daerah pedukuhan pinggir sungai Cisanggarung
yang akhirnya dinamakan Losari, dari tempat ini kemudian Pangeran Angkawijaya
mengembangkan keterampilannya di bidang seni, beberapa hasil kreasinya diyakini
adalah batik Cirebon motif Gringsing dan tari Topeng Cirebon gaya
Losari.
Pangeran Angkawijaya tercatat
meninggal pada tahun 1580 dan dimakamkan di desa Losari lor, kecamatan
Losari, kabupaten Brebes.
Tari Topeng Cirebon gaya Brebes sebenarnya
merupakan tari Topeng Cirebon gaya Losari yang mendapatkan banyak pengaruh lokal, termasuk dari segi alur
ceritanya.
Tari
Topeng Cirebon gaya Brebes merupakan jenis tari Topeng Cirebon yang berkembang di wilayah kecamatan
Losari, kabupaten Brebes yang
mendapat pengaruh dari kebudayaan Jawa.
Tari Topeng Cirebon gaya Brebes menceritakan legenda Joko Bluwo, seorang
pemuda petani desa yang berwajah buruk rupa berkeinginan untuk mempersunting
putri raja yang cantik jelita bernama Putri Candra Kirana. Dikisahkan,
keinginan Joko Bluwo akhirnya dikabulkan sang raja, setelah Joko Bluwo memenuhi
syarat yang diajukan Raja. Namun, di tengah pesta pernikahan, seorang raja dari kaum raksasa yang juga berkeinginan menikahi putri Candra Kirana datang dan membuat kekacauan. Dia mengajak bertarung pada Joko Bluwo untuk memperebutkan sang putri. Joko Bluwo akhirnya berhasil mengalahkan raja raksasa dan hidup bahagia bersama putri Candra Kirana.
Tari Topeng Cirebon gaya Celeng
' Tari Topeng Cirebon gaya Celeng merupakan salah satu gaya tari Topeng Cirebon yang penyebarannya berpusat di blok (bahasa Indonesia: dusun) Celeng, desa Loh Bener, kecamatan Loh Bener, kabupaten Indramayu
Musik pengiring
Lagu atau musik pengiring yang digunakan pada
pagelaran tari Topeng Cirebon gaya Celeng ternyata memiliki kesamaan dengan
musik pengiring yang dipergunakan pada gaya Gegesik dan Slangit namun dengan
beberapa kekhasan tersendiri, misalnya pada tetaluan (bahasa Indonesia:
tabuhan gamelan) Kembang Sungsang jika gongnya ada dua maka nada yang
dimainkan adalah miring dan susul saja, sedangkan jika terdapat
tiga gong, tetaluan kembang
sungsang nada yang dimainkan adalah miring, susul dan sanga.
Dalang tari Topeng Cirebon gaya Celeng
Asal usul gaya Celeng dipercaya dibawa oleh Ki
Kartam (seorang ahli dalang wayang dan dalang topeng) dari wilayah Majakerta yang merupakan kakak dari Ki
Panggah (yang melestarikan tari Topeng Cirebon gaya Cipunegara di kabupaten
Subang), sementara kedekatan gerak tarian antara gaya Celeng dengan
gaya Pekandangan disebabkan mimi Rasinah yang aslinya berasal dari desa Pamayahan,kecamatan Loh Bener, kabupaten Indramayu
belajar seni dalang topeng kepada ibu (bahasa
Cirebon dialek Dermayu: emak) Suminta, ibu dari Ki Dalang
Haji Rusdi dan nenek (bahasa Cirebon dialek
Dermayu: Mak tuwa) dari budayawan Cirebon asal Indramayu Ady Subratha, kemudian
mimi Rasinah pindah ke desa Pekandangan, kecamatan Indramayu, kabupaten Indramayu dan
mempopulerkan tari Topeng Cirebon gaya Pekandangan, inilah yang menyebabkan ada
beberapa gerak tarian yang terkesan mirip antara gaya Celeng dengan gaya
Pekandangan
Pada masa kejayaan gaya
Celeng, ada seorang dalang Topeng lain yang terkenal selain emak
Suminta, yaitu emak Sukesah yang masih saudara dengan emak
Suminta. Emak Sukesah kemudian menikah dengan Ki dalang Sajim
(dalang Wayang Kulit Cirebon) dari
kecamatan
Pegaden, kabupaten Subang, keluarga
Ki Sajim kemudian ada yang meneruskan menjadi dalang Wayang Kulit Cirebon
diantaranya adalah Ki Sukardi dan Ki Casta. Tari Topeng Cirebon gaya Cibereng
Tari
Topeng Cirebon gaya Cibereng merupakan ragam tari Topeng Cirebon yang ada di desa Cibereng, kecamatan
Trisi, kabupaten Indramayu
Dalang tari Topeng Cirebon gaya Cibereng
Dalang tari Topeng Cirebon gaya Cibereng yang terkenal salah satunya adalah Ki dalang Carpan.Tari Topeng Cirebon gaya Cipunegara
Tari
Topeng Cirebon gaya Cipunegara merupakan salah satu gaya tari Topeng Cirebon yang wilayah
penyebarannya berada di sekitar kecamatan
Pegaden hingga ke bantaran sungai Cipunegara yang merupakan
perbatasan dengan kabupaten Indramayu.
Perkembangan kebudayaan di wilayah Cipunegara (termasuk di sebagian besar
daerah dataran rendah kabupaten Subang) tidak
terlepas dari kontribusi masyarakatnya. Tari Topeng Cirebon gaya Cipunegara ini
oleh masyarakatnya disebut sebagai tari Topeng Menor, karena kemerduan
suara dan kecantikan para penarinya.[8]
Pusat tari Topeng Cirebon
gaya Cipunegara berada di desa Jati, kecamatan Cipunegara dan desa Gunung Sembung,
kecamatan
Pegaden, kabupaten Subang.
Dikarenakan desa Jati terkenal sebagai
salah satu pusat tari Topeng Cirebon gaya Cipunegara, maka tari Topeng Cirebon
gaya Cipunegara ini juga dikenal dengan nama tari Topeng Jati.
Willy Sani dalam penelitiannya tentang tari
Topeng Menor menyatakan bahwa bahasa pengantar yang digunakan dalam pagelaran
tari Topeng Cirebon gaya Cipunegara ini adalah bahasa Sunda, bahasa pengantar
yang digunakan tersebut berbeda dengan kebanyakan gaya tari Topeng Cirebon dari
wilayah Cirebon dan Indramayu yang menggunakan bahasa Cirebon sebagai
bahasa pengantaranya. Keunikan yang terjadi semata-mata dikarenakan alkulturasi
budaya antara budaya Cirebon dengan budaya Sunda dikarenakan dalam pementasan
tari Topeng Cirebon gaya Cipunegara tersebut juga didatangi oleh masyarakat
Sunda yang kurang paham dengan bahasa
Cirebon sehingga bahasa Sunda digunakan sebagai bahasa pengantar
pementasan agar pesan-pesan yang berusaha disampaikan dalam setiap babak tariannya dapat dengan mudah
dimengerti oleh masyarakatnya. Namun demikian, Willy Sani juga mengatakan bahwa
penggunaan bahasa Sunda tidak berarti jika nayaga (penabuh gamelan) dan para Dalang Topeng tersebut tidak
bisa menggunakan bahasa Cirebon, sebaliknya
mereka semua fasih menggunakan bahasa
Cirebon walau selama pementasan harus menggunakan bahasa Sunda agar
penonton memahami setiap isi babak.
Musik pengiring
Berbeda
dengan musik pengiring tari Topeng Cirebon yang terdapat di wilayah kabupaten
Cirebon dan kabupaten Indramayu yang
menggunakan instrumen musik bernuansa khas Cirebonan seperti Gamelan cirebon
dan sejenisnya. Pada tari Topeng Cirebon gaya Cipunegara, musik pengiringnya
justru menggunakan musik-musik Bajidoran yang
merupakan seni khas kebudayaan Sunda di kabupaten
Subang dan kabupaten Karawang.[9]
Dalang tari Topeng Cirebon gaya Cipunegara
Dalang-dalang topeng yang berada diwilayah
Pegaden dan Cipunegara bisa dikatakan seluruhnya merupakan keturunan dari
Dalang Panggah. Dalang Carni dan Dalang Ratem merupakan dua orang dalang dari
wilayah Cipunegara yang hingga kini masih terbilang aktif melestarikan gaya Cipunegara.
Tari Topeng Cirebon gaya Gegesik
Tari
Topeng Cirebon gaya Gegesik memiliki daerah penyebaran di sekitar kecamatan
Gegesik, kabupaten Cirebon. Pada
tari Topeng Cirebon gaya Gegesik yang paling terlihat berbeda adalah raut
karakteristik topengnya. Topeng Panji pada gaya Gegesik digambarkan dengan
karakteristik wajah berwarna putih dengan raut tenang, mata sipit dengan
tatapan yang selalu merunduk tajam, hidung mancung dan senyum yang terkulum[10]
Di Gegesik yang merupakan
salah satu pusat perkembangan kesenian cirebon, termasuk kesenian tari Topeng
Cirebon, penari atau dalang tari Topeng Cirebon kini tidak sebanyak dulu ketika
masa jayanya, menurut budayawan Cirebon bapak Nurdin Noer yang juga merupakan
ketua Lembaga Basa lan Sastra Cirebon.
0 Komentar